Belajar dari French Press

584a7f1d0992c
French Press from OttenCoffee.co.id

Ini pertama kalinya saya membeli alat kopi yang disebut French Press. French Press adalah alat yang wajib dimiliki jika tertarik dengan teknik penyeduhan kopi manual bergaya modern, yaitu Manual Brewing.

Alat ini tidak sengaja saya dapati saat berkunjung ke LSM Asing tempat dimana saya berperan sebagai volunteer. Saya membawa bubuk kopi arabica Gayo sebagai oleh-oleh karena saat itu saya baru pulang dari kota dingin Takengon yang terkenal akan kopinya. 2 teman bule saya-atau co-director LSM itu sangat berterimakasih atas pemberian saya, tetapi mereka meminta saya untuk memberi bubuk grade coarse saja. Saya saat itu bingung, karena belum pernah mendengar istilah grade tersebut. Karena bagi saya, yang namanya bubuk kopi arabica Gayo ya ini, bubuk halus (setelahnya saya paham ada sebutan lain untuk grade bubuk halus, yaitu Fine atau Super Fine, sehalus tepung terigu-pen).

Teman dari Hungaria, menunjukkan alat sakral ini ke saya. Dia bilang,”I want a coarse for this one”, sambil memperlihatkan sebuah French Press. Saya jadi tambah bingung, karena baru kali itu saya melihat alat ini. Cara penggunaannya pun saya tidak tahu.

Cerita diatas terjadi di tahun 2015. LSM tadi kini sudah tutup Desember kemarin, dan co-directornya pun kembali ke negara masing-masing melanjutkan mimpi. Saya pun demikian. Volunteer lain juga sama. French Press yang saya beli menjadi alat nostalgia bersama mereka. Menyeduh kopi dengan cara lain. Yang sepanjang hidup saya memakai ritual Tubruk untuk menyeruput secangkir kopi pagi.

French Press mengajari saya untuk sabar, menunggu kopi bereaksi 3-4 menit untuk menikmati sajian kopi terbaik. Menekan tombol French Press, menyaring ampas kopi dan keluarlah sari kopi yang nikmat, hikmahnya dalam hidup adalah, terkadang kita perlu mengalami tekanan untuk mengeluarkan bakat terbaik kita dan menampilkannya ke pentas dunia. Ingat, tak ada yang instan untuk hasil terbaik.

Begitupun dengan kopi.

Mahasiswa, Jangan Tinggalkan Jaketmu!

http://bali.tribunnews.com/2015/04/27/kampus-unud-jimbaran-dieksekusi-mahasiswa-demo
http://bali.tribunnews.com/2015/04/27/kampus-unud-jimbaran-dieksekusi-mahasiswa-demo

Fenomena arah gerakan mahasiswa kini telah melawan angin. Ketika Orde Lama, Orde Baru, era reformasi 1998 hingga pemerintahan SBY dua periode, gerakan mahasiswa masih menunjukkan taring dan kepeduliannya sebagai balancing power bagi pemerintah. Nyatanya, untuk saat ini fenomena itu perlahan menuju nostalgia siang hari. Pasalnya, mahasiswa saat ini sibuk-atau disibukkan sistem-dengan jadwal kuliah yang padat, jam kuliah yang pendek, tugas kuliah yang menumpuk dan sistem pendidikan tinggi lainnya yang menjauhkan mahasiswa dari kesempatan “berkarya” di organisasi mahasiswa.

Disamping itu, munculnya kaum muda untuk berkomunitas menjadi momok bagi kelangsungan organisasi mahasiswa : bersaing atau mati? Yang pernah menjadi aktivis mahasiswa tentu sepakat agar organisasi mahasiswa intra dan ekstra tidak boleh lenyap dimakan komunitas, yang pada umumnya beranjak dari kegelisahan di media sosial. Saya perlu menggarisbawahi bahwa konteks yang ingin saya kemukakan disini adalah fenomena mahasiswa ikut komunitas daripada organisasi mahasiswa. Titik beratnya adalah mahasiswa. Bukan bapak-bapak atau ibu-ibu yang ikut komunitas. Bukan pula pelajar menengah atau dasar. Kita satukan konteks : ini membahas soal dunia mahasiswa.

Komunitas vs Organisasi Mahasiswa?

https://www.castelleducation.co.uk/training/community-focus/
https://www.castelleducation.co.uk/training/community-focus/

Hadirnya komunitas dinilai sebagian kalangan dapat menggantikan peran organisasi mahasiswa dalam menunjukkan kepedulian. Bahkan dari komunitas muncul pula istilah Sosial Enterprise yang menitikberatkan pada usaha, benefit atau bahkan profit sosial daripada Business Enterprise (berorientasi profit murni). Bagi saya itu ada benarnya tapi juga memiliki cacat argumentasi. Sebab, peran organisasi mahasiswa tidak bisa digantikan dengan komunitas, yang seringkali hadir saat momen khusus, namun pudar jika project selesai. Organisasi mahasiswa memiliki sistem, program kerja yang jelas, ada divisi yang solid untuk menangani isu tertentu, ada sejumlah aturan administratif dan organisasi mahasiswa memiliki power untuk mengundang gubernur bahkan kepala negara sekalipun untuk hadir ke kampus. Komunitas jarang memiliki keistimewaan seperti itu. Komunitas lebih tepat disebut sebagai jembatan bagi mereka yang memiliki idealisme layaknya aktivis dengan mereka yang hedonis-kurang peduli dengan masalah sosial-tapi dengan cara yang soft. Disini kita beri batas tegas antara komunitas dengan organisasi mahasiswa, karena pada dasarnya, organisasi mahasiswa tidak sepenuhnya dapat digantikan perannya oleh komunitas.

Mengapa kini organisasi mahasiswa dijauhi? Stempel sebagai organisasi yang hanya jago mengkritik tanpa aksi nyata bisa jadi adalah alasan bagi mahasiswa masa kini untuk tidak ikut dalam “lembaga koar-koar” kampus tersebut. Stigma negatif anggotanya yang telat lulus kuliah, titip absen saat perkuliahan, dan sejumlah kecacatan idealisme lainnya, membuat mahasiswa pada umumnya enggan untuk bergabung. Khawatir nilai anjlok gara-gara ikut organisasi, begitu katanya. Tidak salah, jika kita melihat dari satu sisi karena fenomena itu ada. Nyata. Tapi tidak adil jika kita menafikan masih banyak mahasiswa yang ikut organisasi mahasiswa tapi bisa berprestasi, bisa cummlaude, bisa lanjut kuliah keluar negeri bahkan menciptakan produk atau inovasi baru. Selain sebagai aktivis, juga sebagai sosok yang berguna dan aplikatif dalam menjawab persoalan masyarakatnya. Dan itu banyak, tapi jarang terekspos. Jadi masalahnya adalah soal paradigma. Kebiasaan jelek kita yaitu hanya melihat sisi buruk tanpa mengingat dan melihat sisi baik. Bad news dinomorsatukan, good news disembunyikan. Nah!

Sinergisitas

Maka, apakah diharuskan bagi yang ikut komunitas memisahkan diri dan alergi dengan organisasi mahasiswa? Tentu tidak. Sinergisitas lebih baik daripada perpecahan dan jalan sendiri-sendiri. Anggota komunitas bukan tidak mungkin juga bagian dari staf sebuah organisasi mahasiswa. Dengan catatan, kepedulian akan nasib bangsa dan rakyat yang memang seharusnya selalu didengungkan tanpa jemu oleh mahasiswa, tidak senyap dan hilang dari peredaran baik itu dilakukan dengan cara melalui jalur komunitas maupun organisasi mahasiswa. Akan tetapi, peran ini cenderung bertumpu pada organisasi mahasiswa karena dari sanalah lahir gerakan sosial serta massa yang sanggup mengguncang kesewenang-wenangan pemerintahan ad hoc (belajar dari gerakan reformasi’98).

Sebagai penutup, saya ingin bertanya tentang bagaimana Anda menjelaskan soal momentum yang seharusnya di kritisi mahasiswa tentang kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat seperti isu BBM naik, sembako naik, penjualan aset negara? Apakah komunitas dapat menyelesaikannya? Atau kita ikut berseloroh ; “biarkan saja pemerintah berbuat seperti itu, yang penting kita peduli sesama dan tidak ikut campur urusan pemerintah”. Sekali lagi, peran mahasiswa untuk memprotes aturan main pemerintah yang mencekik rakyat itu sudah mendarah daging sejak zaman mendiang Soe Hok Gie masih hidup. Bukan peran untuk memposting foto selfie dan mengabarkan demam tinggi sambil berharap dibawakan obat dan pancake oleh seseorang, di sosial media manapun.